Sabtu, 16 Juli 2011

PEMBENTUKAN MAHZAB DAN PEMBUKUAN HADIST

Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiah. Berbeda dengan fase sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, fase ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini. Fase ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman keemasan.
1.    Faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut:

Pertama, banyaknya mawali yang masuk Islam. Pada zaman Umayyah, Islam telah berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Yunani, yaitu Antioch dan Bactra.
Dalam upaya mentransformasikan ilmu Yunani ke dunia Islam diperlukan banyak ilmuwan yang menerjemahkah buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab. Melalui gerakan penerjemahan ini, karya-karya dari Yunani dalam bidang filsafat, kedokteran, dan ilmu pengetahuan dapat dibaca umat Islam.
Kedua, berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan. Dalam bidang Ilmu Kalam terjadi perdebatan; setiap kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakalimin, muhadditsin, dan fuqaha.
Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf) dan dihafal. Pelestarian Al-Qur’an melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak-corak bacaan Al-Qur’an. Corak bacaan Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu bacaan yang shahih dan bacaan yang syadzah.
2.    Dasar pemikiran dan perkembangan mazhab hukum Islam
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa, diantaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah. Aliran Hanafiah didirikan oleh Abu Hanifah. Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada zaman Dinasti Umayyah dan meninggal pada zaman Dinasti Abbasiah.
Abu Hanifah belajar fikih kepada ulama Irak (ra’yu). Ia dianggap representatif untuk mewakili pemikiran aliran ra’yu. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui guru-guru dan murid-muridnya sehingga dari segi hubungan guru-murid kita dapat menyaksikan bahwa dia termasuk salah seorang generasi pengembang aliran ra’yu.
Abu Hanifah mempunya dua cara berijtihad yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihad yang pokok adalah apabila tidak mendapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul, maka merujuk kepada qaul sahabat.
Sedangkan cara ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah 1) bahwa dilalah lafad umum (‘am) adalah qath’i seperti lafad khash, 2) bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus, 3) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat, 4) adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan shifat, 5) bahwa apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya, 6) mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan, 7) menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Berikut ini di antara pendapat dari Abu Hanifah:
a.    Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif terus meninggal dunia.
b.    Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak diolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata.
c.    Shalat Gerhana dilakukan dua rekaat sebagaimana shalat Ied, bukan dua kali ruku’ dalam satu rakaat.
Malikiah adalah aliran hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik. Ia dilahirkan di Madinah pada zaman Bani Umayyah dan meninggal pada zaman Bani Abbasiah.
Imam Malik adalah ulama pendiri mazhab. Karena itu, ia memiliki murid dan pengikut yang meneruskan dan melestarikan pendapat-pendapatnya. Disamping melestarikan pendapat Imam Malik, para pengikutnya juga menulis kita yang dapat dijadikan rujukan pada generasi berikutnya.
Langkah-langkah ijtihad Imam Malik adalah sebagai berikut:
a.    Mengambil dari Al-Qur’an
b.    Menggunakan zhahir Al-Qur’an, yaitu lafad umum
c.    Menggunakan dalil Al-Qur’an mafhum al muwafaqoh
d.    Menggunakan dalil Al-Qur’an mafhum mukhalafah
e.    Mengunakan tanbih Al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.
Salah satu dalil hukum yang sering digunakan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Imam Malik lebih mengutamakan ijma’ dan amal ulama Madnah dari pada qiyas, khobar ahad, dan qaul sahabat. Beberapa ijma’ dan amal ulama Madinah adalah
a.    Kesucian mustahadlah
Wanita yang haid atau nifas diwajibkan mandi satu kali; kesuciannya setelah itu cukup dengan berwudlu Hujah yang ia gunakan adalah amal ulama Madinah.
b.    Berjimak dengan perempuan mustahadlah
Laki-laki diharamkan berjimak dengan istrinya yang sedang haid atau nifas.
c.    Qamat shalat
Qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali.
d.    Bacaan shalat di belakang imam
Dalam shalat berjama’ah, makmum disunatkan membaca bacaan shalat ketika bacaan shalat imam tidak terdengar (al jahr) dan meninggalkan bacaan shalat ketika bacaan shalat imam terdengar.
e.    Takbir zawa’id dalam shalat hari raya
Takbir zawa’id dalam shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha adalah 6 kali takbir, selain takbiratul ikhrom pada rekaan pertama, sedangkan takbir pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit dari sujud.
f.      Jumlah rakaat minimal dalam shalat witir
Menurut Imam Malik, jumlah rakaat shalat witir yang paling sedikit adalah 3 rakaat. Hujahnya adalah amal ulama Madinah.
g.    Shalat musafir
Orang yang dalam perjalan dibolehkan melakukan shalat qashar dan atau shalat jama’. Apabila seseorang mendapatkan waktu shalat dalam perjalanan kemudian mengkahirkan kewajiban shalatnya, tetapi sebelum melaksanakan kewajiban shalat tersebut ia (musafir) telah sampai dirumahnya (sehingga ia berkedudukan sebagai muqim, bukan musafir lagi), menurut Imam Malik, orang tersebut diharuskan melakukan shalat sebagai musafir.
h.    Bacaan shalat jenazah

Tidak ada komentar: